“Heh.., he.., iya ya.., eh ada juga putri solo di sini..”, kataku datar. Bokeb Clitorisnya semerah daging babi yang baru direbus, vaginanya banjir bandang, baunya wangi seperti arak cina bercampur wijen.“Akh.., ahhhkk.., iikhh.., Nov.., Nov.., ahhh..”, erangan Ana diikuti gerakan mengejan eksotis di pinggulnya. Ana menggigit kencang bantal di mukanya, kukunya mencengkram kencang pantatku, vaginanya bagaikan vacuum cleaner super. Namun keduanya tak begitu menarik kelelakianku untuk menjelajah cukup jauh. “Ooo…”
“Ya udah, nanti aku yang telpon kamu.., Oke?”
“Iya Ias”
“Namamu siapa ?”, tanyaku sambil melirik kartu nama di dada kirinya. Selagi Ana meliuk-liukkan tubuhnya dengan ganas, kulepas dengan tiba-tiba kedua jariku dari kedua lobangnya. “Heh.., heh.., jangan sembarangan ya Mbak..”, kataku dalam hati. Ana masih belum menyerah, dia masih terbang dengan kerinduannya, jauuuh.., tinggi.., tak tahu sampai di mana. Karena sudah beberapa kali menginap di hotel yang sama, keakraban pun telah ada antara kami dengan para petugas hotel (beberapa




















